Arsip

Archive for the ‘Petualangan’ Category

From Madiun to Manhattan

Masjid Agung “Baitul Hakim” (Madiun)

Alhamdulillah, masih diberi kesempatan oleh Allah SWT. untuk mengunjungi masjid terbesar di Kota Madiun. Bersyukur sekali masih diberi kesempatan untuk melakukan Sholat Maghrib berjamaah di sana. Masjid yang didominasi warna biru dari luar tampak terlihat lebih anggun di setiap sisi-sisinya di bagian luar, bagaikan air yang menunjukkan ketenangannya bagi siapa saja yang menikmatinya.

Masuk ke dalam begitu luasnya masjid ini. dengan dinding marmer dan atap kayu kuno seperti kembali ke masa lampau, menyejukkan hati dengan paduan kemewahan dan kesederhanaan. Jendela besar dengan horden hijau cukup mencerminkan masjid tersebut didirikan sudah cukup lama. Waktu saya pergi ke sana tampak, bahan-bahan bangunan menginsyaratkan masjid tersebut sudah mulai direnovasi. Di depan bagian atas sisi kanan dan kiri masjid, nampak seperti bangunan kubah baru. Bangunan masjid di bagian selatan terlihat hasil bongkaran dan diperbaiki.

Penyempurnaan bangunan Masjid ini dilakukan Pemkot Madiun karena tahun ini (2011) Kota Madiun akan menjadi tuan rumah MTQ se- Jawa Timur.  Tak tanggung-tanggung dana yang dikucurkan sebesar Rp 3 miliar. Konsep Masjid Agung “Baitul Hakim” adalah representatif dan artistik. Renovasi ini mengadopsi langsung dari tiga masjid besar lainnya, Masjid Al Akbar Surabaya, Masjid Agung Semarang, Masjid Agung Tuban.  (http://www.portalmadiun.web.id/berita-mawirotaman/berita-madiun/masjid-agung-madiun-direnovasi-sedot-rp-3-miliar.html)

Alon-Alon Madiun

Letaknya di depan persis Masjid Agung “Baitul Hakim”. Sambil menunggu waktu Maghrib tiba, kami melepas penat setelah seharian berkeliling di Magetan dengan berjalan-jalan santai menuju Alon-alon Madiun. Banyak sekali orang yang datang ke sana, mulai dari para pedagang , hingga para orang tua yang mengajak putra-putrinya pergi bermain-main. Di sekeliling Alon-alon Madiun banyak sekali pedagang yang berjejer mulai dari penjual mainan hingga makanan. Sore hari yang sangat indah, jika saja saya bisa berkumpul dengan keluarga besar di sini, tapi setidaknya dengan berkumpul dengan teman-teman, sudah cukup hati ini merasakan kebahagiaan. (amr)

Masjid “Al Ukhuwwah” Lanud Iswahjudi (Magetan)

Perjalanan terakhir sebelum pulang ke Surabaya dengan mengunjungi Masjid “Al Ukhuwwah” Lanud Iswahjudi di daerah perbatasan Magetan-Madiun. Suasana cukup sepi, hening. Alhamdulillah masih diberi kesempatan olehNya melaksanakan sholat Isya berjemaah di sana. Didominasi warna biru mulai dari tembok hingga atap menandakan warna kebanggaan dari angkatan udara yaitu biru muda. Jemaahnya kemungkinan berasal dari rumah-rumah sekitar yang dihuni oleh para anggota TNI Angkatan Udara. Desainnya sama seperti Masjid kebanyakan. Mulai dari anak-anak , Bapak-bapak, dan Ibu-ibu melaksanakan Sholat Isya berjemaah sampai tiga shaf, Subhanallah, hampir menyamai rata-rata shaf-shaf Masjid  di Surabaya, padahal daerahnya sepi sekali, hanya sesekali terdengar suara jangkrik. (amr)

Kategori:Petualangan

Air Terjun Tirto Sari … Bbrrr

Bismillahirrohmanirrohim

Air Terjun “Tirto Sari” (Magetan)

Perjalanan kami berlanjut ke dalam Telaga Sarangan. Melewati pemukiman penduduk, ternyata di dalamnya terdapat objek wisata Air Terjun “Tirto Sari”. Sungguh perjalanan yang sangat melelahkan untuk menuju ke sana. Apalagi diperparah dengan datangnya hujan, sehingga kami semua berteduh di Masjid Baitur Rokhim Ngluweg-Sarangan. Sejenak melepas penat setelah melalui setengah perjalanan yang cukup melelahkan. Untung saja, hujan segera berhenti, sehingga kami harus bergegas menuju Air Terjun “Tirto SAri” tersebut, mengingat waktu itu mepet sekali dengan waktu Sholat Jumat.

Setelah meninggalkan perkampungan, Subhanallah ternyata nampak panorama indah di depan, Alam hijau nan luas. Sepintas tampak seperti crop circle namun bukan, itu benar-benar karunia Allah SWT.  Sesekali kami mengambil background yang cantik itu untuk didokumentasikan. Tak jarang kami berekspresi segala macam gaya mulai dari gaya serius sampai gaya narsis tidak jelas. Ya biasalah, mahasiswa aji mumpung, kalo sudah balik ke Surabaya pasti sudah tidak bisa melihat suasana hijau seperti itu yang ada hanya warna putih dan sejenisnya, kertas, buku, dsb.

Di tengah perjalanan, ternyata masih ada pintu masuk untuk menuju Air Terjun “Tirto Sari” sehingga bagi siapa yang memasukinya harus membayar tiket terlebih dahulu Rp 1.000,00/orang. Di kanan kiri saya lihat banyak petani sayur yang sedang bercocok tanam,mulai dari petani wortel hingga saledri, dan sayuran lainnya tumbuh bagus di daerah sini. Tangga batu yang licin menemani perjalanan kami menuju Air Terjun tersebut. Alhamdulillah, beberapa menit kemudian setelah berjuang melawan kelelahan akhirnya kami sampai juga di Air Terjun “Tirto Sari”. Semula saya memutuskan untuk tidak mandi di sana, mengingat udara di sana sangat dingin sekali. Namun, saya berpikir sekali lagi, mumpung di sana, sekalian saja mandi bersama teman-teman. Alhasil, tubuh saya hampir beku kedinginan. Pengalaman lah, ini baru saya lakukan pertama kalinya dalam hidup saya, Mandi di Air Terjun dengan temperatur di bawah rata-rata. Kami mandi tak lama, selain airnya yang dingin, waktunya mepet dengan sholat Jumat.

Untuk menghangatkan badan setelah mandi di kedinginan yang bisa saya katakan luar biasa, kami memesan menu unik ‘”Sate Kelinci”. Menu yang tidak biasa ditemukan di daerah perkotaan. Harganya bisa saya katakan sama seperti harga sate biasanya, hanya saja satu porsi lima belas tusuk (Rp 15.000,00). Hmm… Alhamdulillah, nikmatnya, ditambah bumbu kacang dan lontong, makan bersama teman-teman menambah ukhuwah diantara kami. Saling berdekatan menambah kehangatan di dinginnya udara di sana. Setelah menyantap sate kelinci, kami bergegas menuju Masjid Baitur Rokhim Ngluweg-Sarangan untuk melaksanakan sholat Jumat.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB namun masih belum ada tanda-tanda bahwa di Masjid itu akan diadakan sholat Jumat. Tidak ada murottal, tidak ada jemaah yang berduyun-duyun datang ingin memperoleh shaf pertama. Kami sempat berpikir, mungkin di masjid ini sudah tidak dipakai lagi, akhirnya kami bertanya kepada tetangga sekitar, ternyata jam dua belas katanya aktivitas sholat Jumat baru dimulai. baru jam 11.45 WIB ada seorang pemuda yang masuk ke dalam masjid untuk menghidupkan speaker murottal sebagai awal penanda sholat jumat akan segera dimulai. Yang tak kalah unik, khotbahnya menggunakan bahasa jawa halus, yang banyak saya tak paham artinya. Meskipun ada turunan orang jawa, saya merasa kemampuan dalam berbahasa jawa halus sangatlah kurang daripada berbahasa madura halus. Blasteran namanya, namun setelah sholat Jumat selesai saya menanyakan kepada salah Anwar mengenai inti dari isi khotbah tadi. Jika kita mendengar adzan segeralah tunaikan sholat, jangan sampai ditunda-tunda, kalau kita tidak mau dianggap derajatnya lebih rendah daripada hewan, begitu katanya. Alhamdulillah, pengalaman luar biasa kami dapatkan di sini, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas jamuan dan penginapan yang telah diberikan oleh keluarga mas Heri dan  Rudi. (amr)

Kategori:Petualangan

Telaga Sarangan for Ma’hader

6 Februari 2011 1 komentar

Untuk perjalanan kali ini, kami melakukan perjalanan ke Magetan bersama teman2 “Makhad Ukhuwah Islamiyah” terdiri dari Mas Aska (Siskal LJ ’09), Mas Opi (Despro ’07), Mas Heri (PENS ’07), Aan (PPNS ’08), Rudi (PPNS ’08), Anwar (Fisika ’08). Kami berangkat berenam dari Surabaya (03/02/2011), hanya Mas Heri yang berangkat sendiri sehari sebelumnya. Jam 11.00 kami berangkat menggunakan Lyn S dan Bis Kota di Surabaya. Sampai di Terminal Purabaya, Bungurasih kami langsung pindah ke Bus Mira. Sudah lama sekali saya tidak naik Bus Mira, mungkin terakhir waktu saya duduk di kelas enam SD. Dulu keluarga saya sering naik bis ini ketika kami hendak pergi ke Jogja untuk liburan hari raya Idul Fitri, di sana kampung halaman ayah saya. Ada yang berbeda disini, kalau sekarang jika pake KL (Kartu Langganan) harganya lebih murah, kalo dulu setahu saya tidak ada yang seperti itu, harga dipukul rata semua.

Setelah enam jam berlalu, sekitar pukul 17.00 WIB akhirnya kami tiba di Terminal Maospati-Magetan. Kami pun langsung menuju masjid di sekitar terminal tersebut guna melakukan sholat jama’ qashar berjemaah. Beberapa menit kemudian, datanglah mobil    kijang biru menyambut kedatangan kami, milik mas Heri. Jarak rumahnya hanya   dua ratus meter dari Terminal Maospati. Wah, jadi tidak enak pake dijemput mobil segala, seperti tamu negara. Kami menghabiskan malam dengan berjalan kaki di sekitar Terminal Maospati. Pemandangannya hampir sama seperti kota kecilku, Sampang-Madura mungkin lebih ramai saja. Jam Sembilan malam kami baru kembali dan tidur di rumah Mas Heri.

Esok paginya (04/02/2011) kami berangkat menuju rumah Rudi, kebetulan dia berasal dari Magetan juga, sekalian mampir di rumah Rudi. Hatiku terketuk di saat memasuki rumah Rudi. Melihat kondisi rumahnya, bisa saya katakan sangat sederhana. Lantai beralaskan semen tanpa lantai, Atap dengan desain kuno dan sederhana, bersama keluarganya menyambut bahagia kedatangan kami, sampai-sampai mereka menjamu kami dengan baik sekali. Sungguh pemandangan keluarga yang sangat mengesankan. Setelah itu, kamipun pamit untuk pergi melanjutkan perjalanan wisata.

Telaga Sarangan (Magetan)

Jalan yang berkelak-kelok, menanjak, lereng curam, tikungan tajam mewarnai perjalanan kami menuju Telaga Sarangan. Setelah di dalam perjalanan kurang lebih dua puluh menit dari rumah Rudi, kami sampai di Telaga Sarangan. Subhanallah, alangkah indahnya panorama di sana. Udaranya sangat sejuk menambah keindahan alam ciptaanNya.

Mengapa Telaga ini dinamakan Telaga Sarangan ?

Konon, Kyai Pasir dan Nyai Pasir adalah pasangan suami isteri yang hidup di hutan gunung Lawu. Mereka berteduh di sebuah rumah (pondok) di hutan lereng gunung Lawu sebelah timur. Pondok itu dibuat dari kayu hutan dan beratapkan dedaunan. Dengan pondok yang sangat sederhana ini keduanya sudah merasa sangat aman dan tidak takut akan bahaya yang menimpanya, seperti gangguan binatang buas dan sebagainya. Lebih-lebih mereka telah lama hidup di hutan tersebut sehingga paham terhadap situasi lingkungan sekitar dan pasti dapat mengatasi segala gangguan yang mungkin akan menimpa dirinya.

Pada suatu hari pergilah Kyai Pasir ke hutan dengan maksud bertanam sesuatu di ladangnya, sebagai mata pencaharian untuk hidup sehari-hari. Oleh karena ladang yang akan ditanami banyak pohon-phon besar, Kyai Pasir terlebih dahulu menebang beberapa pohon besar itu satu demi satu.
Tiba-tiba Kyai Pasir terkejut karena mengetahui sebutir telur ayam terletak di bawah salah sebuah pohon yang hendak ditebangnya. Diamat-amatinya telur itu sejenak sambil bertanya di dalam hatinya, telur apa gerangan yang ditemukan itu. Padahal di sekitarnya tidak tampak binatang unggas seekorpun yang biasa bertelur. Tidak berpikir panjang lagi, Kyai Pasir segera pulang membwa telur itu dan diberikan kepada isterinya.

Kyai Pasir menceritakan ke Nyai Pasir awal pertamanya menemukan telur itu, sampai dia bawa pulang. Akhirnya kedua suami isteri itu sepakat telur temuan itu direbus. Setelah masak, separo telur masak tadi oleh Nyai Pasir diberikan ke suaminya. Dimakannya telur itu oleh Kyai Pasir dengan lahapnya. Kemudian Kemudian Kyai Pasir berangkat lagi keladang untuk meneruskan pekerjaan menebang pohon dan bertanam.
Dalam perjalanan kembali ke ladang, Kyai Pasir masih merasakan nikmat telur yang baru saja dimakannya. Namun setelah tiba di ladang, badannya terasa panas, kaku serta sakit sekali. Mata berkunang-kunang, keringat dingin keluar membasahi seluruh tubuhnya. Derita ini datangnya secara tiba-tiba, sehingga Kyai Pasir tidak mampu menahan sakit itu dan akhirnya rebah ke tanah. Mereka sangat kebingungan sebab sekujur badannya kaku dan sakit bukan kepalang. Dalam keadaan yang sangat kritis ini Kyai Pasir berguling-guling di tanah, berguling kesana kemari dengan dahsyatnya. Gaib menimpa Kyai Pasir. Tiba-tiba badannya berubah wujud menjadi ular naga yang besar, bersungut, berjampang sangat menakutkan. Ular Naga itu berguling kesana kemari tanpa henti-hentinya.

Alkisah, Nyai Pasir yang tinggal di rumah dan juga makan separo dari telur yang direbus tadi, dengan tiba-tiba mengalami nasib sama sebagaimana yang dialami Kyai Pasir. Sekujur badannya menjadi sakit, kaku dan panas bukan main. Nyai Pasir menjadi kebingungan, lari kesana kemari, tidak karuan apa yang dilakukan. Karena derita yang disandang ini akhirnya Nyai Pasir lari ke ladang bermaksud menemui suaminya untuk minta pertolongan. Tetapi apa yang dijuumpai. Bukannya Kyai Pasir, melainkan seekor ular naga yang besar sekali dan menakutkan. Melihat ular naga yang besar itu Nyai Pasir terkejut dan takut bukan kepalang. Tetapi karena sakit yang disandangnya semakin parah, Nyai Pasir tidak mampu lagi bertahan dan rebahlah ke tanah. Nyai Pasir mangalami nasib gaib yang sama seperti yang dialami suaminya. Demikian ia rebah ke tanah, badannya berubah wujud menjadi seekor ular naga yang besar, bersungut, berjampang, giginya panjang dan runcing sangat mengerikan. Kedua naga itu akhirnya berguling-guling kesana kemari, bergeliat-geliat di tanah ladang itu, menyebabkan tanah tempat kedua naga berguling-guling itu menjadi berserakan dan bercekung-cekung seperti dikeduk-keduk. Cekungan itu makin lama makin luas dan dalam, sementara kedua naga besar itu juga semakin dahsyat pula berguling-guling dan tiba-tiba dari dalam cekungan tanah yang dalam serta luas itu menyembur air yang besar memancar kemana-mana. Dalam waktu sekejap saja, cekungan itu sudah penuh dengan air dan ladang Kyai Pasir berubah wujud mejadi kolam besar yang disebut Telaga. Telaga ini oleh masyarakat setempat terdahulu dinamakan Telaga Pasir, karena telaga ini terwujud disebabakan oleh ulah Kyai Pasir dan Nyai Pasir (http://magetan-city.blogspot.com/2009/03/asal-usul-telaga-sarangan.html). (amr)

Kategori:Petualangan