Arsip

Archive for September, 2010

Generasi Penerus Sang Celurit Emas

16 September 2010 4 komentar

Assalamualaikum wr.wb.

Akhirnya penantian panjang saya untuk membuat blog khusus dunia pena terwujud pada hari Kamis, 16 September 2010 jam 16.00 WIB di kampung halaman saya tercinta, Sampang-Madura dengan kondisi langit utara yang mendung menandakan akan datangnya suatu rahmat dari singgasana Sang Maha Pencipta dengan tambahan semilir angin yang berhembus dari jendela rumah seakan menjadi saksi akan lahirnya Generasi Penerus Sang Celurit Emas (Amin Ya Rabb…)

Sang Celurit Emas ?? Mungkin sebagian pembaca bertanya-tanya siapakah sebenarnya Sang Celurit Emas itu ?? Ok, saya perkenalkan Sang Celurit Emas itu adalah julukan seorang maestro sastra tersohor dari belahan bumi Madura yang kini telah berusia 67 tahun. D. Zawawi Imron begitulah nama lengkap beliau. Dilihat dari latar belakangnya, beliau dilahirkan saat bulan Ramadhan saat zaman penjajahan Jepang.  Zawawi kecil tumbuh sebagai anak yang mengalami proses alamiah secara langsung.

Terlahir di sebuah desa Batang-batang Laok, Sumenep, Madura, beliau tumbuh di sebuah lembah, sawah bertingkat-tingkat, dan tanah bergunung-gunung. Batang-batang merupakan satu di antara 27 kecamatan di Kabupaten Sumenep, Madura. Letaknya sekitar 30 kilometer ke arah timur Kota Sumenep. Perjalanan darat dengan menggunakan angkutan umum bisa dicapai dua jam lamanya. Maklum, hanya ada satu trayek angkutan menuju dan dari desa ini ke pusat kota. Meski jauh dan terpencil, akses jalan menuju Batang-batang terbuat dari aspal mulus. Pemandangan sepanjang perjalanan tampak eksotis. Jalan itu beberapa kali melewati perbukitan kecil, sungai, dan ladang tembakau milik warga. Tanah yang sedikit berbatu dan iklim panas membuat tanaman siwalan tumbuh subur di daerah ini.

Perkenalan Zawawi dengan dunia kepenyairan diawali ketika masih berumur 14 tahun. Saat itu Zawawi tengah belajar di pesantren kecil di Desa Lambi Cabi, sekitar 15 kilometer dari Batang-batang. Dari sinilah Zawawi berkenalan dengan syi’ir (syair) Madura yang berisi tentang ajaran akhlak dan agama Islam. Sejak itu, hati Zawawi mulai terpikat oleh puisi. Pergulatannya dengan dunia kepenyairan mulai ditekuni Zawawi selepas menikahi Maskiyah, gadis sedesanya, pada 1968.

Saat itu Zawawi menafkahi keluarganya dengan berdagang sandal dan kopyah di Pasar Langit, yang jauhnya sekitar 10 kilometer dari Batang-batang. Di sela-sela menunggu pembeli, Zawawi memanfaatkan waktunya dengan membuat syi’ir Madura. Suatu ketika puisi Zawawi ini dibaca oleh Maksum, petugas pemungut karcis di pasar. Karena puisi ini dianggap menarik, Maksum menyarankan Zawawi mengirimkan puisi tersebut ke mingguan Bhirawa di Surabaya. Zawawi tak keberatan. Maksum pun mulai menerjemahkan puisi Zawawi yang berbahasa Madura ke bahasa Indonesia, sekaligus mengetik kembali puisi itu. Tak dinyana, puisi Zawawi yang berjudul Sementara Diri Berangkat Tua (1970) itu untuk pertama kalinya dimuat di surat kabar dengan mendapat honor Rp 250,00.

Sejak puisinya dimuat di Bhirawa, Zawawi kian aktif menulis. Lima tahun lamanya dia rutin mengirimkan karyanya ke Bhirawa. Sejak itu nama Zawawi mulai diperhitungkan dalam kancah kepenyairan di Jawa Timur. Pada tahun 1982, bersama 10 sastrawan di Indonesia, Zawawi mendapat kehormatan membacakan puisinya di Jakarta.
Sejak itu undangan pentas membacakan puisi dari berbagai daerah mulai mengalir ke rumah Zawawi. Sejumlah kota telah dijelajahinya. Zawawi juga pernah menulis 100 puisi tentang daerah Bugis dan Padang. Meskipun tinggal di sebuah desa yang jauh dari keramaian, Zawawi mampu mengisi hidupnya dengan kegiatan yang bermakna.

Pak Zawawi lebih dikenal sepanjang 22 tahun atas kiprahnya sebagai penyair, dari tahun 1977 hingga 1999, sedikitnya 15 antologi puisi telah dilahirkannya, di antaranya Semerbak Mayang (1977), Madura Akulah Lautmu (1978), Celurit Emas (1980), Bulan Tertusuk Ilalang (1982), Nenek Moyangku Air Mata (1985), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), dan Madura Akulah Darahmu (1999). Puisi Bulan Tertusuk Ilalang (1982) sempat diadaptasi sutradara Garin Nugroho dalam sebuah judul filmnya. Dimana semua syairnya terinspirasi dari tempat kelahirannya.

Tidak seperti penyair lain yang karyanya banyak dipengaruhi oleh karya sastrawan terkemuka, Zawawi adalah penyair murni. Puisi lahir dari sanubarinya. Ketika merintis sebagai penyair, Zawawi belum kenal dengan Chairil Anwar, Sanusi Pane, apalagi W.S. Rendra. Satu-satunya yang mempengaruhi gaya puisi Zawawi adalah syair Madura yang sudah berumur 300 tahun. Terjemahan salah satu syair Madura itu antara lain berbunyi: “Menggalah bintang, yang jatuh rembulan, galahannya pakai janur kuning. Kakak pergi semakin jauh, jauhnya sampai alun-alun.”

Mengapa Pak Zawawi sampai disebut Sang Celurit Emas ?

Dalam puisi-puisi Pak Zawawi Imron, muatan lokal yang kuat kerap dipadukan dengan nilai-nilai religi dalam pengertian luas.Ada dua hal yang menjadi kekhasan puisi-puisi Zawawi Imron. Yang pertama adalah hadirnya idiom-idiom lokal Madura yang merupakan daerah asalnya, dan yang kedua adalah muatan Islam yang kerap muncul.

Dalam puisi-puisi semisal Celurit Emas, Zawawi berhasil mengangkat sebuah kultur Madura yang mematahkan stereotip yang kerap dikenakan kepada masyarakat Madura. Dalam puisi-puisinya, Zawawi mengangkat citra budaya Madura yang positif. Selama ini citra Madura bagi sebagian orang mungkin identik dengan baju kaus lurik, sate, atau celurit. Dalam puisi-puisi Zawawi Imron justru menampilkan sosok orang Madura yang berbeda, yang mencintai lingkungan dan laut sebagai bagian dari kehidupannya.Puisi-puisi Zawawi juga kerap menggambarkan idiom-idiom budaya Madura dengan cara yang berbeda. Garam dari laut adalah sebuah representasi harapan orang Madura. Puisinya Celurit Emas menggambarkan celurit sebagai simbol semangat orang Madura, bukan semata senjata untuk membunuh orang, yang hanya akan digunakan untuk melawan ketidakbenaran.

Latar belakang pesantren membuat Zawawi juga mengangkat muatan Islam dalam puisinya. Tetapi, muatan Islam dalam puisinya bukan muatan artifisial. Muatan Islam dalam puisi-puisi Zawawi adalah Islam dalam pengertian yang amat luas. Zawawi menampilkan Islam sebagai agama yang bersaudara dengan apa pun. Termasuk juga dengan lingkungan, dengan laut, dengan pohon, dengan batu. Puisi Zawawi Imron adalah representasi dari semangat islami yang bersaudara dengan makhluk apa pun.

Share by: Jurnal Nasional

Kategori:Motivasi